Sepucuk daun melayang diterbangkan angin yang datang
dari balik semak, berputar sesaat Dan berpilih pelan, hingga jatuh tepat di
ujung kaki kananku. Aku sedang duduk
menghela nafas di atas gundukan kecil berhiaskan krokot putih dan pakis krul.
Kurasakan hembusan angin yang bersemilir
ini. Sejuk sekali. Bila tanpa semak-semak, rerimbunan daun pepohonan yang berjajar-jajar
di belakangku, tentu semilir angin tak cukup berarti untuk mengalahkan sengatan
matahari. Di sini aku biasa berhenti sejenak untuk sekedar melepas lelah, pada
detik ini, selama lebih dari enam tahun ini. Memang, pada saat-saat seperti
ini, biasanya angin akan bertiup dari arah selatan, dari balik pegunungan
permoni, dari balik punggungku. Aku sudah sangat hapal dengan tenpat ini,
daerah ini, sebab disini lah aku biasa menghela napas, merasakan lelahnya hidup
ini. Aku pungut daun perdu yang tadi jatuh di ujung kakiku. Aku pegang, aku
perhatikan dengan seksama. Daun ini sudah menguning pertanda sudah harus
berpisah dari rantingnya.
Daun perdu yang layu…
Kuperhatikan lagi. Lebih seksama
dan daun itu tampak lebih layu di mataku.
Lama aku memperhatikannya. Semakin
lama aku perhatikan dia, tak terasa air mata meleleh di pipiku. Layunya daun
perdu ini mengingatkanku tentang berpuluh-puluh peristiwa yang tak mungkin bisa
aku lupakan, yang telah mengubah hidupku, sehingga membawaku kesini, seperti
sekarang ini.
Faiz, begitulah orang-orang menyebutku, lahir tanggal
23 juli 1990 di Pringsewu, sebuah kota kecil yang sibuk dan panas. Aku ditakdirkan
terlahir dari sebuah keluarga sederhana. Anak dari seorang guru di sekolah swasta
dan ibu rumah tangga yang gigih merawat anak-anaknya. Lahir diantara tiga
saudaraku lainnya, membuatku menjadi seorang adik sekaligus kakak. Dan hal ini
juga yang membuatku merasa selalu berada diantara mereka.
--------…..--------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar